Translate

Thursday, September 22, 2016

[ 2016 | Review #95 ] : "FOLLOWING THE WRONG GOD HOME"

Books “MENGIRING DEWA YANG SESAT”
by Catherine Lim
Cover artwork by Sarah Perkins
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Nin Bakdisoemanto
Cetakan I : Maret 2004 ; 376 hlm ; ISBN 978-979-22-0704-0
Harga Normal : Rp. 50.000,-

Timur atau Barat. Kepala atau Hati. Dewa mana yang harus ia ikuti ?

Yin Ling – cantik, memukau, cerdas dan memiliki impian tinggi bagi masa depannya. Kemudian muncul Vincent Chee dalam kehidupannya, seakan-akan Dewa Keberuntungan turun dari langit memberikan berkah dan karunia kepadanya. Bukan saja Vincent merupakan putra tunggal keluarga kaya raya dan sangat berpengaruh di Singapura, tapi ia juga sangat mencintai Yin Ling, dan bertekad menjalin kehidupan rumah tangga bersama, terlepas dari keberatan sang ibu yang telah menjaga ‘pewarisnya’ dari para pengeruk harta selama sekian tahun. Pertunangan memyusul pernikahan akan segera dilangsungkan, tampaknya tak ada yang mampu menghalangi pasangan yang menjadi bahan gosip kalangan atas Singapura, untuk segera meresmikan ikatan mereka.


Hingga muncul Ben Gallagher – dosen muda yang bergelar profesor dari Amerika, pria idealis yang memiliki impian untuk merubah dunia menjadi lebih baik. Ia menyeberang dari belahan benua yang berbeda, untuk mewujudkan misi tersebut. Keberanian dan tekad bulat yang acapkali dianggap sebagai sikap keras kepala, nyaris menjadi landasan kuat bagi sosok Ben untuk bertindak mengungkap kebenaran terlepas apa pun halangan yang harus ia hadapi. Penduduk Singapura yang mayoritas didominasi kaum Asia, terkesan ramah, halus dan mudah menerima dirinya. Namun Ben mendapati, halangan berupa birokrasi serta aturan main, ternyata juga berlangsung di Singapura, dengan cara yang agak berbeda namun bertujuan sama.

Profesor Ben Gallagher merupakan sosok pengajar favorit mahasiswa, namun mimpi buruk bagi administrasi karena ia menolak melakukan aturan main yang sama, jika dirasa hal tersebut tidak sesuai dengan kebenaran, keadilan serta prinsip-prinsip kebebasan dalam hak maupun kewajiban individu. Saat ia mengalami frustasi akibat benturan-benturan serta kecaman halus yang dilakukan oleh kolega hingga pimpinan universitas, Ben bertemu dengan sosok Yin Ling – daya tarik yang tak mampu ia hapuskan, membayangi dirinya semenjak saat itu. Keberanian Ben untuk melakukan pendekatan terhadap Yin Ling, yang dikenal sebagai tunangan Vincent Chee (tidak seorang pun pria di Singapura berani berpikir untuk mengusik Yin Ling), menggugah Yin Ling.

Yin Ling tertarik pada sosok Ben jauh sebelum ia mengenalnya sebagai Profesor Ben Gallagher, ketika secara kebetulan ia menyaksikan keberanian Ben membela seorang wanita tak dikenal di lokasi ‘street-food’ terkenal. Wanita yang ternyata seorang wanita penghibur, lari demi keselamatannya yang terancam oleh sang mucikari dan antek-anteknya. Tiada seorang pria pun yang membantu wanita itu, termasuk Vincent Chee yang mendampingi Yin Ling saat itu. Gosip seputar perilaku ‘memberontak’ yang dilakukan oleh Profesor Gallagher mengusik perhatian Yin Ling lebih pada pria yang asing bagi dirinya. Tanpa disadari, benang-benang merah mulai muncul, terjalin dan terajut lebih kuat antara dua insan yang berbeda latar belakang ini.

Awalnya kisah ini kuduga sekedar konflik seputar drama keluarga dengan mengangkat romansa antara dua insan yang berbeda latar belakang, sebagaimana acapkali muncul pada karya-karya Amy Tan, Lisa See hingga Pearl S. Buck. Dugaanku sedikit banyak benar adanya, dengan tambahan masuknya unsur yang mengangkat pergulatan antara dua budaya, dua keyakinan yang berbeda, Barat dan Timur yang secara garis besar ‘bertolak-belakang’ – namun pada hakekatnya mampu menemukan ‘benang merah’ yang menyatukan segala perbedaan ... walau untuk itu dibutuhkan waktu dan proses yang cukup berat, sekaligus pengorbanan besar.

Yin Ling yang mewakili budaya Timur, mendambakan kebebasan untuk membuka pikiran dan pendapat, harus berhadapan dengan adat dan tradisi yang membatasi dirinya, sebagai seorang wanita maupun bagian dari komunitas Asia yang tertutup. Ben Gallagher, sebaliknya terpikat pada ‘kehalusan’ dan tata krama yang terkesan santun, mengira ia mampu mengubah dunia menjadi sesuatu yang lebih baik sembari berharap ‘sopan-santun’ yang ia kagumi memudahkan jalannya, dan mendapati ia berbenturan dengan tembok raksasa yang kaku, dingin, diam dan acuh, tanpa memberikan kesempatan atau celah baginya untuk menembus tradisi yang terjalin sekian ratus tahun.

Kisah ini tidak akan menarik tanpa campur-tangan sosok Ah Heng Cheh – pengasuh Yin Ling, pembantu rumah tangga yang membesarkan anak-anak majikannya, hingga memiliki hubungan kedekatan yang unik, diluar kaitan hubungan darah. Ah Heng Cheh merupakan cerminan sosok yang berpegang erat pada keyakinan dan tradisi kuno dari leluhur, mengutamakan kepentingan ‘Dewa-Dewa’ yang dipuja sebagai panutan dan pedoman dalam menjalani kesehariaan, termasuk saat menghadapi aneka masalah dan halangan. Walau ini merupakan karya pertama penulis yang kubaca, konflik di balik kisah ini digambarkan cukup akurat, menarik sekaligus menggelitik, mengajak pembaca menelusuri dinamika kehidupan keluarga-keluarga yang berbeda di Singapura, terlepas dari modernisasi yang tercermin dalam pola dan gaya kehidupan, tradisi leluhur serta kepercayaan kuno masih berakar kuat, terutama pada golongan ‘tua’ ...

Dari keluarga Yin Ling, paduan kekuatan antara sang ibu yang juga merupakan orang tua tunggal, sibuk mengejar karir hingga melepas anak-anaknya di tangan pembantu (pengasuh), hingga janda kaya raya yang memiliki misi khusus, membesarkan putra tunggal sekaligus pewaris kekayaan keluarga, dan tentu saja menjauhkan para ‘pengeruk harta’ dari kehidupan maupun masa depan putra kesayangannya. Jika ada sedikit ‘keluhan’ hanya terbatas pada panjangnya narasi atau adegan-adegan tertentu yang membutku merasa jenuh pada beberapa bagian, akibat alur yang lambat. Namun secara keseluruhan, kisah ini layak dibaca penggemar drama romansa dengan latar belakang kemelut dan tradisi Timur vs Barat. Bahkan bisa ku-ungkapkan ‘sedikit’ bahwa ending kisah ini lumayan mengejutkan, membuatku sedikit merasa ‘haru-biru’ (serta mengingatkan diriku akan kisah klasik ‘Anna Karenina’ karya Tolstoy) ... but overall it’s a good story.  

Judul Asli : FOLLOWING THE WRONG GOD HOME
Copyright © 2001 by Catherine Lim
Cover artwork by Sarah Perkins
Rate : 3.5 of 5

[ more about the author & related works, just check at here : Catherine Lim | on Goodreads | on Wikipedia | on Facebook ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...