Translate

Thursday, September 22, 2016

[ 2016 | Review #94 ] : "A HOUSE DIVIDED"

Books “RUNTUHNYA DINASTI WANG”
by Pearl S. Buck
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Irina M. Susetyo & Widya Kirana
Desain & ilustrasi sampul : Satya Utama Jadi
Cetakan II : Agustus 2008 ; 536 hlm ; ISBN 978-979-22-3798-6
Harga Normal : Rp. 55.000,-

Ini adalah kisah tentang Wang Yuan – putra Wang si Macan, cucu Wang Lung – petani sederhana yang berhasil meningkatkan derajat kehidupan dan membangun keluarga besar, walau masa depan yang terjadi tidak seluruhnya sesuai harapan. Dalam kisah sebelumnya, pembaca diajak menelusuri kehidupan baru sosok Wang Lung yang berhasil mengangkat dirinya beserta keluarga dari kemiskinan hingga menjadi kaya raya dan berkuasa, walau semua perjuangan Wang Lung lambat laun hancur akibat ulah ketiga putranya. Salah satu sosok ‘pemberontak dalam keluarga ditampilkan pada putra bungsu Wang Lung, yang lari dari rumah, bergabung dengan tentara rakyat dengan tujuan menghancurkan keraj keras ayahnya. Namun sejarah kembali berulang, karena Wang Si Macan akhirnya menjalani kehidupan kurang lebih serupa dengan ayahnya ...


Saat muda dan kuat, ia ditakuti, dan julukan yang melekat pada dirinya, menyebabkan Wang Si Macan memiliki kekuasaan atas rasa takut yang menghinggapi orang-orang di sekelilingnya. Waktu berlalu tanpa disadari, Wang Si Macan pun beranjak tua, kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut pihak lain, akhirnya mulai luruh. Cengkeraman kekuasaan Wang Si Macan menghilang, terutama semenjak ia dikecewakan oleh putra kesayangannya, Wang Yuan yang juga memilih memberontak pada kemauan ayahnya, serupa dengan yang dilakukan Wang Si Macan di masa silam pada ayahnya. Jika dulu Wang Si Macan membenci dan mengecam gaya hidup hedonis ayahnya, menempatkan dirinya sebagai pejuang pemberontak melawan kapitalisme, kali ini ia berhadapan pada situasi sama persis, hanya saja ia bertukar tempat dan harus berhadapan dengan putranya.

Wang Yuan baru berusia 19 tahun saat ia pulang dari sekolah militer, tempat dimana sebagian besar waktunya semenjak remaja dihabiskan alih-alih tinggal bersama ayahnya. Sekian tahun tak bersua sang ayah, sosok yang diibaratkan sebagai monster menakutkan dalam mimpi-mimpi buruknya, berubah menjadi pria tua renta yang mulai melupakan segala sesuatu dan tenggelam dalam minuman untuk melenyapkan rasa sakit yang menggerogoti dirinya. Rasa takut bercampu amarah dan dendam membara, sedikit banyak berubah melihat kondisi ayahnya yang menyedihkan. Namun sifat keras kepala antara keduanya tetap tak mampu menjembatani rusaknya hubungan yang terjadi sekian lama. Sebuah pertengkaran yang kesekian kalinya, mendorong Wang Yuan kembali melarikan diri, walau kali ini ia memilih untuk tinggal di desa kediaman kakeknya.

Alih-alih merasa bosan, Wang Yuan justru mendapati ia menikmati suasana kehidupan di desa. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama karena para penduduk desa, termasuk keluarga yang menjaga kediaman kakeknya, merasa khawatir dengan kehadiran salah satu anggota keluarga Wang Si Macan – setidaknya rasa takut akibat kekuasaan Wang Si Macan di masa lalu masih membekas di benak penduduk desa yang lugu ini. Di sisi lain, Wang Yuan mendapati terlepas dari melemahnya kondisi sang ayah, pria tersebut masih memiliki tekad besar untuk mengatur masa depan anaknya, termasuk merencanakan perjodohan untuk mengikat putranya dalam pernikahan yang menguntungkan kedua belah pihak, setidaknya ditinjau dari pihak keluarga Wang, dan ia menempuh segala cara untuk memastikan hal itu terlaksana.

Murka sekaligus frustasi karena tidak mampu menemukan tempat pelarian lain, Wang Yuan mendadak teringat pada ibun angkatnya, wanita yang dinikahi Wang Si Macan, namun kemudian tidak dipedulikan setelah melahirkan seorang putri. Menyadari dirinya tidak lagi dianggap sebagai pasangan, sang istri meminta agar ia menjalani kehidupan terpisah di kota besar, dimana ia membesarkan putrinya jauh dari pengaruh Wang Si Macan. Kisah pun bergulir pada kehidupan baru Wang Yuan di kota besar, bersekolah, memiliki teman-teman baru dan menjalani pergaulan sosial sekaligus ‘mencicipi’ aneka ragam budaya yang diperkenalkan oleh adiknya Ai-lan, gadis remaja dengan kehidupan bebas sekaligus godaan-godaan baru. Wang Yuan mulai mengenal apa itu ‘Cinta’ dalam pemahamannya yang lumayan polos, dan patah hati akibat kurangnya pemahaman tentang cara berkomunikasi atau memahami pihak lain.

Dari buku pertama yang menjadi salah satu favoritku, disusul buku kedua yang jujur lumayan jauh dari ekspektasiku, buku ketiga ini memiliki nuansa yang sama sekali berbeda. Bisa jadi karena latar belakang yang digunakan lebih dekat pada era Revolusi Cina, saat pengaruh Barat telah merasuk sedemikian dalam dalam budaya, keyakinan serta kesehariaan masyarakat Cina. Pada dua buku sebelumnya, kesan budaya Cina sangat kuat, dan anehnya di buku ini pun penulis mampu memberikan besarnya kekuatan dan kecintaan akan tanah leluhur, justru dengan menampilkan sosok Wang Yuan yang harus merantau jauh ke belahan benua lain. Saat situasi Revolusi mulai membahayakan keselamatan dirinya beserta saudara-saudara sepupunya, mereka dikirim ke Amerika untuk menempuh pendidikan lanjutan.

Bukan hal yang mudah bagi Wang Yuan untuk beradapatasi dengan masyarakat Amerika. Hal tersebut tidak dipermudah dengan kurangnya pengetahuan dan pemahaman mayoritas bangsa Amerika terhadap bangsa Cina, hingga muncul pemahaman secara stereotype menyangkut mayoritas imigran Cina (Asia). Penulis memaparkan pergulatan yang senantiasa menyelubungi hati dan pikiran Yuan, ketidak-puasannya atas penilaian Amerika pada umumnya pada kaumnya, tanpa menyadari dirinya juga melakukan penilaian sepihak, yang tercermin dari interaksi hubungan antara dirinya dengan keluarga Dr. Henry Wilson, salah satu gurunya yang memiliki misi kuat untuk merubah Yuan menjadi salah satu umat Kristiani. Situasi semakin rumit saat Yuan ‘tertarik’ pada putri sang mentor, yang ternyata menyambut niat Yuan, anehnya justru membuat Yuan terbelah antara keyakinan dari leluhurnya dengan dogma-dogma Kristiani yang ia jumpai.

Konflik antara Barat dan Timur, kepercayaan leluhur dan ajaran Kristiani, acapkali muncul dalam beberapa karya penulis yang pernah kubaca, seperti Madame Wu, Peony, Mandala maupun East Wind, West Wind. Walau topik ini disajikan cukup pendek dalam kisah kali ini, penulis mampu memberikan gambaran sejauh mana usaha asimilasi yang terjalin saat pengaruh Barat masuk ke Timur, demikian pula sebaliknya. Sebagian mampu menerima perbedaan-perbedaan yang muncul namun cukup banyak yang mengalami pergulatan hingga menimbulkan gejolak pada individu-individu tertentu, sebagaimana kisah Wang Yuan. Dengan ending yang menarik, harus ku-akui bahwa buku pamungkas serial ini, memiliki nilai-nilai yang lebih dan jauh lebih kompleks dibandingkan dua buku sebelumnya. Dan sebagai penggemar karya penulis, ini adalah salah satu buku yang layak kurekomendasikan bagi sesama penggemar maupun pembaca lainnya \(^_^)/ ... Love-Love-Love-It-So-Much !!!

Judul Asli : A HOUSE DIVIDED
[ book 3 of HOUSE OF EARTH Trilogy ]
Copyright © 1932 ; renewed 1959 by Pearl S. Buck
Rate : 4 of 5

Tentang Penulis :
Pearl Sydenstricker Buck ( 26 Juni 1892 – 6 Maret 1973 ), dikenal pula dengan nama Cina Sai Zhenzhu, adalah seorang penulis asal Amerika yang menghabiskan separuh hidupnya di Cina hingga tahun 1934. Lahir di Hillsboro, West Virginia, dan dibawa ke Cina pada usia 3 bulan mengikuti tugas yang diemban oleh ayahnya sebagai seorang misionaris, karena itu Pearl dibesarkan dalam lingkungan bilingual, baik Cina maupun Inggris. Keluarga mereka mengalami masa-masa berat saat Pemberontakan Kaum Boxer, menimbulkan perpecahan antara bangsa Cina dan bangsa Asing (terutama dari Barat).

Pada tahun 1911, beliau meninggalkan Cina untuk menuntut ilmu di Amerika, dan baru kembali ke Cina pada tahun 1914 dan menikah dengan John Lossing Buck pada tanggal 13 Mei 1917, menetap di Suzhou, di Provinsi Anhui (lokasi yang beliau gunakan pada novelnya The Good Earth). Kemudian mereka pindah di kediaman baru di Nanking, Cina dan keduanya juga mengajar di Universitas Nanking. Kehidupan mereka semakin berat dengan propaganda pemerintahan baru Chiang Kai-shek, dan pada Maret 1927 Tragedi Nanking  yang mengambisi nyawa ribuan orang, membuat mereka menjadi salah satu dari sekian banyak bangsa asing yang bersembunyi dari kejaran tentara Chiang Kai-shek. Pada tahun 1934, mereka meninggalkan Cina untuk menetap di Amerika, dan tak pernah kembali ke Cina (pada tahun 1972, beliau berencana mengunjungi Cina, namun terkena larangan Presiden Nixon yang baru membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Cina). Pada tanggal 6 Maret 1973, beliau meninggal di Danby, Vermont akibat kanker paru-paru.

Beliau merupakan sosok yang sangat aktif dalam pergerakan hak-hak kaum wanita, pelestarian budaya Asia, masalah dan topik seputar birokrasi di bagian imigrasi, adopsi, pekerjaan misionaris dan kampanye anti-perang. Pandangan politik serta pengalaman hidupnya, banyak tercurah dalam karya-karyanya abik berupa novel, kumpulan cerita pendek, fiksi, cerita anak, serta biografi keluarganya. Di tahun 1949, beliau tergerak untuk membangun Welcome House, Inc – agen adopsi Internasional pertama yang menangani kasus-kasus anak-anak ‘blasteran/campuran’ yang banyak ditolak di kedua belah pihak. Selama 5 dekade perjuangan mereka, agensi ini telah berhasil menempatkan hampir 5.000 anak-anak terlantar ke keluarga penuh kasih yang bersedia mengadopsi mereka.

Kegiatan beliau sebagai seorang humanitarian tak berhenti sampai di sini. Di tahun 1964, beliau mendirikan Pearl S. Buck International yang memiliki tujuan mengangkat harkat hidup anak-anak terlantar dan miskin di Asia, terutama mereka yang tidak memenuhi persyaratan untuk diadopsi. Pergerakannya kian meluas hingga membentuk panti-panti asuhan di Korea Selatan, Thailand dan Vietnam dengan nama Opportunity House. Sebagaimana ia katakan, “Tujuan utama misi ini adalah menyebarkan sekaligus menghapuskan ketidak-adilan serta prasangka terhadap anak-anak, hanya karena mereka terlahir berbeda, bukan berarti  mereka tak boleh menikmati pendidikan, menjalani kehidupan sosial serta status layaknya anak-anak normal lainnya.”

Keberanian dirinya sebagai aktivis politik yang berhubungan dengan harkat manusia, tampak pada era dimana pembicaraan atau diskusi tentang topik ini bisa membuat seseorang ditangkap dan ditahan. Beliau justru menantang masyarakat Amerika dengan mengangkat isu rasialis, diskriminasi sex, dan ribuan bayi-bayi terlahir dan terlantar akibat perlakuan tentara Amerika terhadap kaum wanita di Asia selama peperangan. Rumah tempat kelahiran beliau di Hillsboro kini menjadi sebuah museum sejarah dan pusat budaya yang dibuka untuk umum, siapa saja yang peduli dan bersedia membuka pikiran serta Impian masa depan yang lebih baik.  Pearl S. Buck adalah seorang istri, ibu, penulis, editor dan aktivis hak-hak kemanusiaan. Para pembaca bisa melihat buah pikirannya lewat The Good Earth yang masuk dalam daftar bestseller selama 1931-1932 di Amerika, sekaligus memenangkan penghargaan Pulitzer Prize di tahun 1932. Pada tahun 1938, beliau dianugerahi Nobel Prize in Literature atas tulisannya yang kaya akan penggambaran detail kehidupan orang-orang yang tersia-sia di Cina.

[ more about the author & related works, just check at here : Pearl S. Buck | on Goodreads | on Wikipedia | on IMDb ]

Best Regards,
@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...