Translate

Thursday, August 11, 2016

[ 2016 | Review #89 ] : "THE GIRLS"

Books “GADIS-GADIS MISTERIUS”
by Emma Cline
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Maria Lubis
Editor : Barokah Ruziati
Desain sampul : Orkha Creative
Cetakan I : Agustus 2016 ; 360 hlm ; ISBN 978-602-03-2928-4
Harga Normal : Rp. 75.000,-

Satu lagi buku yang sempat menjadi ‘hype’ sekaligus mengundang ulasan bervariasi dari pembaca Goodreads, dan gara-gara mbak Astrid yang juga memasukkan buku ini dalam wishlistnya, terbitlah rasa ‘kepo’ untuk menelaah kisah ini lebih dekat, apalagi tema yang diangkat cukup mengundang tanda tanya di benakku : kisah remaja yang terlibat dalam aktifitas sekte (cult) pada era ’60-an. Nah, sejauh mana prediksi dan ekspektasi awal yang akhirnya kualami usai menuntaskan bacaan setebal 300 halaman ini dalam semalam ....


Sebelum kuberikan ‘voting final’ atas kisah ini, terlebih dulu kuajak kalian mengikuti perjalanan gadis bernama Evie Boyd, yang pada pertengahan musim panas di tahun 1969 menginjak usia 14 tahun. Evie tinggal di Petaluma – kota kecil di kawasan California Utara yang panas, digambarkan sebagai sosok yang tertutup, kurang percaya diri dan sangat mendambakan perhatian sekecil apapun dari pihak lain. Pernikahan kedua orang tuanya bukanlah sesuatu yang dianggap ideal bahkan oleh Evie semenjak kanak-kanak.

Hubungan yang terjalin antara mereka, tidak pernah disadari sebagai suatu kekurangan, hingga perceraian terjadi, tepat usai sang ayah memutuskan ia lebih menyukai gadis muda yang selamanya ini menjadi asistennya. Anehnya, Evie sama sekali tidak menyalahkan ayahnya, ia justru menyalahkan ibunya yang dianggap tidak mampu mengimbangi keinginan serta kemampuan ayahnya. Singkat cerita, Evie sebagai sosok remaja, memandang rendah ibu kandungnya.

Situasi semakin parah saat baik ibu maupun putrinya, sama-sama mencari kekuatan dan hiburan dari pihak luar. Saat sang ibu sibuk menemukan identitas dirinya dalam kelompok-kelompok yang mengaku menemukan ‘jalan kedamaian’ dalam hidup, sekaligus mencari penghiburan dari kencan satu ke kencan lainnya, maka Evie pun berusaha menarik perhatian ‘cowok’ yang merupakan awal dari perubahan total dalam kehidupannya. Apa terjadi saat remaja dihadapkan pada situasi yang memalukan serta kekhawatiran kenangan buruk akan membayangi hidupnya?

Kesalah-pahaman, sulit mengungkapkan perasaan dan kurang percaya diri, menyeret Evie dalam petualangan baru, saat ia ‘bertemu’ dengan sekelompok gadis yang dianggap luar biasa. Gadis itu bernama Suzanne – sosok yang segera menjadi idola dan idaman Evie, bagaimana ia sangat tertarik dengan perilaku bebas tanpa beban, keberaniannya untuk ‘tampil beda’ di hadapan masyarakat umum tanpa berkesan mempedulikan pemikiran mereka. Ini adalah awal masuknya Evie dalam sebuah ‘sekte’ tanpa pernah disadari hingga terlambat.
“Sejauh mana dirimu mendambakan perhatian dari seseorang, bahkan rela melakukan apa saja, termasuk melanggar hukum ... atau mengambil nyawa orang lain ?”
Nyaris sepanjang kisah ini, diriku ‘jatuh-kasihan’ pada sosok Evie, mengapa ia bisa tersesat menjalani kehidupan yang ‘salah’ bukan hanya sekali namun berulang kali. Terpesona oleh karakter Suzanne, ia memilih hidup bagai gelandangan, tinggal di kawasan timbunan sampah, mengais sampah hingga mencuri untuk makan atau memenuhi kebutuhan lainnya, walau pun ia bisa hidup normal layaknya gadis remaja seusianya bersama ibunya. Ia bahkan ‘mencuri’ dari ibunya untuk mendapatkan ‘pujian’ dari kawan-kawan baru, terutama dari Suzanne.

Memiliki sosok idola yang menjadi panutan dalam kesehariaan, dipastikan hampir dialami setiap remaja, bahkan orang dewasa pun mengalami hal serupa. Idola yang mampu ‘menyuntikkan’ pemikiran-pemikiran baru, merubah perilaku bahkan mempengaruhi keyakinan diri masing-masing, sungguh sangat bermanfaat – jika saja idola yang dijadikan panutan, menjalani jalur kebenaran. Sayangnya dalam kasus Evie, panutan hidup barunya adalah Suzanne, yang seperti semua anggota sekte, dikendalikan sepenuhnya oleh Russsell – sang pemimpin.

Sejauh mana daya tarik kisah ini mampu menghanyutkan diriku ? Hmmm...jujur, kenikmatan menjalani keseluruhan proses tidak mendapat kepuasan penuh. Pertama, kisah ini dijabarkan melalui dua sudut pandang, antara Evie yang dewasa di usia antara 30-40 tahun yang mengalami ‘flash-back’ kenangan masa lalunya, terutama rahasia yang ia pendam menyangkut ‘noda kelam’ dalam kehidupannya dimulai dari usia 14 tahun. Kedua, adegan-adegan yang muncul berupa potongan-penggalan yang terasa acak, cukup membingungkan pada awal pembacaan.

Ketiga, entah mengapa, dialog-dialog yang terjalin, kurang terasa daya tarik secara emosional. Menilik komentar dan pujian pembaca lain, kuanggap ini sejenis kisah seperti karya John Green, yang mampu ‘ditangkap’ esensinya lebih dalam saat membaca versi aslinya (bahasa Inggris), walau bukan berarti versi terjemahannya buruk, hanya saja ‘kesan’ yang muncul berbeda, seperti sajian puisi yang terasa keindahannya dalam versi asli dibandingkan versi terjemahannya.

Hal tersebut kurasakan terutama pada adegan saat Evie mengalami ‘pengalaman pertama’ berhubungan seks, yang sayangnya sama sekali jauh dari kesan romantis, karena ia diperdaya untuk melakukan permainan menjijikan dengan orang-orang dewasa. Pengalaman yang digambarkan bagai ‘out-of-body-experience’ saat benak Evie berusaha memblokir hal tersebut, seharusnya mampu mengguncang dan menguras emosi, anehnya justru berkesan lumayan ‘datar’ (selain imajinasiku yang muncul perasaan ‘grotesque’ akibat deskripsi adegan tersebut).

Menelusuri bahwa kisah ini ditulis berdasarkan fakta sejarah tentang sekte yang dipimpin oleh Charles Manson, yang sangat dikenal akibat kebrutalan serangkaian pembantaian, penyiksaan dan pembunuhan yang diperintahkan pada anggota-anggotanya, termasuk pembunuhan aktris ternama Sharon Tate di tahun 60-an, seharusnya kisah ini bisa lebih menarik. Walau kasus yang dikenal sebagai Manson Murder dipastikan penuh kekerasan, sadis dan brutal, penulis memilih sosok gadis remaja berusia 14 tahun yang terlibat dalam sekte yang dipimpin pria ‘gila’ ...

Mungkin saja ekspektasiku terlalu tinggi, namun dipastikan kisah ini kurasakan berjalan cukup datar, terutama menyangkut karakter Evie Boyd, tiada koneksi yang mampu menghubungkan diriku selaku pembaca sekaligus penikmat dalam menelusuri perjalanan Evie. Yang lebih terasa justru kekuatan manipulasi mengerikan yang muncul dari benak ‘gila’ sosok Russell – bagaimana ia mampu mengendalikan orang-orang dalam kelompoknya untuk melakukan apa saja yang diminta, termasuk menghabisi nyawa orang lain. Sayang, hanya 3.5 bintang yang mampu kuberikan ...

Judul Asli : THE GIRLS
Copyright © 2016 by Emma Cline
Rate : 3.5 of 5

Note : menelusuri jejak rekam sosok Emma Cline sebagai penulis debut yang berhasil mendapatkan kontrak senilai $ 2 million untuk 3 buku karyanya (termasuk The Girls), berbagai pendapat pro dan kontra seputar karyanya, terutama ‘The Girls’ yang menurut sebagian besar pakar, memilki start awal yang bagus, ide kontroversial namun tidak disertai penyelesaian yang menunjang – sebuah karya yang bisa dikatakan ‘mentah’ ... terlepas dari faktor-faktor kontroversial yang menarik perhatian umum. Di sisi lain, penggambaran karakter Evie Boyd, anehnya mirip dengan penuturan masa kanak-kanak Emma yang menjalani ‘pemaksaan’ untuk menerjuni dunia akting akibat obsesi sang ibu, membuatku bertanya-tanya, apakah kisah fiksi ini didasarkan pada pengalamn pribadi sang penulis, yang bergulat menemukan identitas diri dimulai pada usia sangat dini ? ( sumber : guardian.com )

[ more about the author & related works, just check at here : Emma Cline | on Goodreads | at Facebook ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...