Translate

Wednesday, April 27, 2016

[ 2016 | Review #61 ] : "JUST ONE YEAR"

Books “SATU TAHUN SAJA”
Judul Asli : JUST ONE YEAR
[  book 2 of ALLYSON & WILLEM  | JUST ONE DAY Series ]
Copyright © 2013 by Gayle Forman, Inc.
Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Alih Bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Barokah Ruziati
Desain & ilustrasi sampul : Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.co.id)
Cetakan I : Maret 2016 ; 328 hlm ; ISBN 978-602-03-0734-3
Harga Normal : Rp. 65.000,-
Rate : 4 of 5
"Cinta itu seperti noda, sesuatu yang tidak pernah hilang, tidak peduli seberapa kuat keinginanmu menghilangkannya.”
Willem de Ruiter telah meninggalkan Belanda, tempat yang pernah ia sebut sebagai ‘rumah’ selama dua tahun tanpa pernah pulang sekalipun. Ia menjelajahi negara-negara lain, tanpa ada rencana khusus, hanya sekedar mengikuti kata hati dan serangkaian ‘kecelakaan’ sebagai pertanda. Sikapnya yang terbuka dan mudah beradaptasi, membantu proses perkenalan dengan siapa saja, dimana pun ia berada, terutama kaum wanita, dari gadis hingga wanita yang telah menikah, petualangan Willem mengalir dari satu tempat ke tempat lain, karena ia sama sekali tidak menginginkan keterikatan khusus yang ia yakini hanya bisa dijalani saat dirinya bertemu dengan sosok yang ‘tepat’.


Dan suatu hari di Roma, ia bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya. Sikap gadis itu berbeda dengan remaja seusianya, tertarik namun tidak berusaha mengejar dirinya. Takdir membawa pertemuan kedua yang tak disangka menjadi awal ‘kecelakaan’ lain : janji petualangan selama sehari di Paris sebagai kenangan khusus kelak di masa depan masing-masing. Sehari serasa sangat singkat, anehnya Willem belum pernah merasakan lebih ‘hidup’ saat bersama gadis itu, mengingat pengalaman panjang petualangan yang telah ia jalani selama ini. Gadis yang ia panggil Lulu, julukan berdasarkan aktris film bisu yang menjadi favoritnya. Sayangnya sebuah ‘happy-ending’ tidak menjadi bagian dari pengalaman ini ...

Ia terbangun di sebuah rumah sakit di Paris, dalam kondisi babak belur dan luka-luka yang lumayan parah, gegar otak yang membuatnya ‘lupa’ pada sebagian besar hal-hal yang seharusnyan ia ingat. Ia tak mampu mengingat siapa yang memukuli dirinya, namun satu hal yang muncul di benaknya : ada seorang gadis yang menunggu dirinya, di suatu tempat yang samar-samar dalam ingatannya. Tatkala akhirnya ingatannya lebih jernih, gadis yang dicari tidak ditemukan di tempat itu. Dimana gerangan perginya gadis bernama Lulu asal Amerika ? Mengapa ia meninggalkan kopernya di Paris ? Dan mengapa ia tak menunggu hingga Willem muncul menjemputnya ... atau setidaknya demikian niat awal Willem.
“Keraguan adalah bagian dari pencarian. Sama seperti keyakinan. Walau dua hal itu berlawanan, barangkali mereka adalah dua bagian dari bait yang berpasangan. Seperti kebenaran dan kebalikannya merupakan dua sisi koin yang sama.”
Putus asa saat tak berhasil menemukan Lulu di Paris dan untuk memulihkan kondisinya, akhirnya ia pulang ke Amsterdam, Belanda. Namun Willem masih bertekad untuk menemukan Lulu, setidaknya ia berhutang penjelasan mengapa ia ‘sangat terlambat’ kembali menemui Lulu. Sayangnya, Willem tak pernah mengetahui nama asli Lulu, lalu bagaimana ia bisa melacak keberadaannya ? Berbekal ingatan akan kisah-kisah yang terjalin selama petualangan ‘sehari’ di Paris, Willem dibantu sahabat-sahabatnya, memulai babak baru perjalanan panjang mengunjungi tempat-tempat dimana ‘kemungkinan besar’ Lulu akan ditemukan di sana.

Dalam kisah sebelumnya, diriku dibuat penasaran, mengapa Willem tidak pernah kembali pada Allyson. Apakah ia ‘sengaja’ meninggalkan gadis yang baru dikenal, hingga terlunta-lunta nyaris histeris dan traumatik membayangkan dirinya seorang diri di belahan negara yang asing bagi dirinya ? Mengiringi perjalanan Allyson untuk menemukan jawaban, yang meninggalkan lubang dalam di hati serta pikirannya hingga setahun berlalu, tentu saja kebenaran hanya bisa terungkap melalui sosok yang terlibat di dalamnya : Willem. Kini, giliran Willem untuk menunjukkan pada pembaca, apa yang selama ini alami, dan alasan di balik semua keputusan serta tindakannya yang absurb dan aneh, bahkan bagi sahabat-sahabat dekatnya.
“Ada perbedaan antara bernyali dan berani. Bernyali adalah melakukan hal berbahaya tanpa berpikir. Berani adalah melangkah menuju bahaya, tapi tahu persis risiko apa yang akan dihadapi.”
Dari Belanda, pembaca diajak menelusuri kembali jejak langkah Willem dan Allyson, menuju Paris hingga Cancún, Meksiko, tempat dimana Lulu sekeluarga biasa berlibur. Jika membaca perjalanan Allyson, pembaca bisa membayangkan keduanya berada di lokasi yang sama namun selau berselisih-jalan, seakan takdir sengaja membuat jarak antara keduanya. Frustasi dan putus asa, membawa Willem mencari sosok yang pernah dekat dengan dirinya : sang ibu, yang setelah kematian mengejutkan sang ayah, memilih tinggal di India alih-alih kembali ke Belanda. Di sini terlihat sekali mengapa Willem tanda sadar tidak bersedia ‘terikat’ dengan siapa pun, karena hubungan yang terjalin antara ayah, ibu dan dirinya, bukan tipikal keluarga normal.

Kematian Bram de Ruiter, ayahnya yang menjadi penghubung jalinan keluarga mereka, menyebabkan perubahan drastis pada kehidupan Willem dan Yael Shiloh, sang ibu. Kini dihadapkan pada kesulitan baru, konflik menyangkut hubungan-hubungannya dengan kaum wanita (sang ibu serta mantan-mantan kekasihnya) serta perasaan yang tak mampu ia jabarkan menyangkut hubungan ‘singkat’ dengan Allyson – gadis yang hanya dikenal selama satu hari, penulis membuat diriku bertanya-tanya, langkah apa yang akan dipilih oleh Willem pada akhirnya ? Akhir kisah ini benar-benar membuatku ingin segera menyimak ‘Just One Night’ – novella yang memberikan gambaran lebih jelas apa yang terjadi pada Allyson maupun Willem saat mereka mengambil keputusan terakhir dalam pencarian masing-masing ...
“Takdir tidak bisa jadi faktor utama yang mengatur kehidupanmu. Kau harus jadi pengemudinya. Itu namanya kehendak. Kadang-kadang takdir atau kehidupan, menunjukkan pintu yang terbuka dan kau tinggal melangjah memasukinya. Tapi kadang-kadang pintu itu terkunci dan kau haus mencari anak kuncinya dulu, atau membongkarnya, atau mendobraknya sekalian. Dan kadang-kadang kehidupan bahkan tidak menunjukkan pintu, kau sendiri yang harus membuatnya. Tapi kalau kau hanya menunggu pintu dibukakan untukmu ... kau bakal kesulitan mencari kebahagiaan tunggal, apalagi porsi gandanya.”
[ more about the author & related works, just check at here : Gayle Forman | on Goodreads | on Wikipedia | on IMDb | at Facebook | at Twitter ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...