Translate

Tuesday, April 19, 2016

[ 2016 | Review #52 ] : "RED SORGHUM"

Books “SORGUM MERAH”
Judul Asli : RED SORGHUM
Copyright © Mo Yan 1992
Penerbit Serambi
Alih Bahasa : Fahmy Yamani
Editor : M. Sidik Nugraha
Layout : Aniza Pujiati
Desain sampul : Altha Rivan
Cetakan I : September 2014 ; 548 hlm ; ISBN 978-602-290-006-1
Harga Normal : Rp. 77.000,-
Rate : 3.5 of 5

Perkenalan pertamaku pada karya Mo Yan melalui ‘Change’ – sebuah semi-biografi yang mengungkap sekelumit kisah kehidupan sosok pemenang Nobel Sastra 2012, menggiring pada rasa ingin-tahu pada karya-karya lainnya. Sorgum Merah menarik perhatian umum tatkala sutradara ternama Zhang Yimou melakukan adaptasi versi layar lebar dua tahun setelah buku ini rilis. Diriku termasuk salah satu pembaca yang penasaran, ingin membaca versi asli karya penulis sebelum memutuskan menonton adapasi filmnya. Dan kisah ini benar-benar melampaui imajinasiku, bahkan bisa kukatakan bahwa pengalaman membaca kisah sepanjang 500 halaman ini membutuhkan kurun waktu yang cukup lama, karena berbagai alasan ...


Sorgum Merah merupakan cerminan kehidupan masyarakat Cina yang bisa dikategorikan golongan bawah. Diwakili oleh 3 generasi sebuah keluarga, pembaca digiring menelusuri jejak masa lalu hingga masa terkini memalui sudut pandang yang berbeda namun juga merupakan satu kesatuan pemahaman tentang makna kehidupan serta kematian. Berpusat pada era sekitar tahun 1930-an, saat Jepang melancarkan serangan dan upaya menaklukan Cina sebagai wilayah jajahan terbaru, situasi yang sama sekali tidak seimbang mewarnai pertempuran dan perang yang memakan korban jiwa di kedua belah pihak.

Pasukan Jepang merupakan militer yang terlatih dengan perlengkapan dan persenjataan yang memadai. Pihak Cina yang mayoritas merupakan rakyat biasa, kaum petani yang mengandalkan keberanian dan tekad besar untuk tidak menyerah, menjadi lawan tanding yang mampu menghambat laju pasukan Jepang. Salah satu kawasan yang melalukan perlawanan sengit adalah Kabupaten Gaomi Timur Laut, dikenal karena mayoritas terdiri dari ladang sorgum yang sangat luas. Mayoritas penduduk hidup dari ladang tersebut, sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari maupun sumber nafkah dengan membuat arak dari sorgum.

Kehidupan masyarakat yang terbelah oleh jurang besar antara kaum miskin dan kaum berada, dipenuhi pula oleh golongan menengah yang berusaha keras berada ditengah-tengah kedua status tersebut. Adat serta budaya lama yang mengikat masyarakat, menjadi sumber pelarian saat keyakinan mereka digoyahkan sekaligus belenggu yang menyebabkan mereka hidup dalam situasi yang serupa secara turun temurun tanpa perubahan secara signifikan. Kisah ini dimulai saat seorang gadis ‘menarik’ dari keluarga miskin, dijual oleh ayahnya kepada keluarga kaya untuk menjadi istri penerus keluarga mereka yang ternyata mengidap penyakit lepra.

Apakah ada orangtua yang tega menjual masa depan anaknya pada pembeli seperti itu ? Itulah yang terjadi saat kemiskinan menjadi udara yang mampu mereka hirup sepanjang waktu. Secercah udara segar berupa kepingan uang, patut dilakukan walau harus mengorbankan anggota keluarga. Sebagai sosok perempuan yang hidup di masa penuh tradisi dan peraturan yang menjunjung tinggi hak kaum pria, bisa dikatakan ‘kematian’ menjemput gadis itu lebih cepat. Namun takdir bergulir ke arah yang berbeda, karena salah satu tukang tandu yang membawa mempelai wanita ternyata ‘jatuh-hati’ dan akhirnya membantu melenyapkan mempelai pria beserta seluruh anggota keluarganya yang tersisa.

Ditinggal sebagai janda muda yang menarik dan satu-satunya pewaris kekayaan keluarga almarhum suaminya, ternyata mampu dijalani dengan baik, karena dibalik penampilannya yang polos dan lemah, tersimpan kecerdasan serta keberanian untuk melawan arus. Mengambil alih tanggung jawab dan mengembangkan bisnis arak sorgum dalam pengawasan orang-orang kepercayaannya, roda kehidupan pun menanjak ke arah yang lebih baik bagi dirinya. Bahkan ketika ia hamil, mayoritas masyarakat hanya menduga bahwa ‘malam pengantin’ yang terjadi hanya sekali membuahkan hasil yang tak terduga. Hanya segelintir manusia yang tahu kebenaran di balik kandungan yang semakin membesar.

Kisah ini merupakan perpaduan situasi yang kompleks berpusat pada keluarga yang hanya dikenal sebagai kakek, nenek, ayah, ibu dan cucu. Walau terkadang muncul nama panggilan atau julukan, cukup sulit mengikuti gaya penuturan penulis yang cenderung melompat-lompat antara masa lalu dan masa kini. Sudut pandang yang sering digunakan adalah tokoh yang disebut sebagai ‘cucu’ – generasi ketiga, yang melakukan semacam napak-tilas perjalanan kehidupan ayah dan ibu maupun kakek dan nenek dari kedua belah pihak. Anehnya kisah-kisah tokoh-tokoh yang seharusnya tidak terlalu dikenali oleh sang ‘cucu’ juga turut menyertai kisah ini.

Walau menuturkan sajian penuh penderitaan, kisah ini jauh dari suasana haru-biru, yang terasa sangat ‘pekat’ justru aroma liar dan brutal, bahkan beberapa adegan benar-benar membuatku ‘mual’ membayangkan suasana peperangan yang digambarkan sedemikian ‘hidup’ oleh sang penulis. Bagaimana pasukan Jepang melakukan penyerangan layaknya ‘tentara Viking’ yang melakukan perburuan, penyiksaan yang sadis termasuk perkosaan pada setiap bangsa Cina yang ditemui. Korban mulai bayi, anak-anak, pria, wanita hingga kakek-nenek, tiada satu pun yang selamat. Salah satu adegan penyiksaan dengan menguliti hidup-hidup salah satu tawanan yang memberontak disaksikan penduduk desa yang tersisa sungguh membuat miris hati.

Buku ini adalah salah satu bacaan yang ‘sulit’ untuk kutelaah dalam sekejab. Membutuhkan waktu hampir 2 bulan untuk menuntaskan, karena jujur diriku tidak tahan ‘menyaksikan’ kebrutalan penggambaran sifat dasar manusia saat dihadapkan pada situasi yang mengerikan. Penulis benar-benar melakukan ‘penyederhanaan’ dalam bentuk kosa kata (banyak sekali makian dan kata-kata yang bisa dianggap ‘tidak layak’) sekaligus deskripsi suasana alam yang mampu membawa pembaca ke masa yang berbeda. Sungguh menakutkan membayangkan perang yang menghilangkan sifat manusiawi dan budi pekerti ... setidaknya demikian yang muncul dalam benakku sepanjang proses pembacaan kisah ini.

Adegan lain yang benar-benar membuatnya terpaku (sekaligus ngeri) adalah perang antara sekelompok manusia dan gerombolan anjing. Mereka sama-sama termasuk ‘penyintas’ (survivor) dari kematian akibat perang, namun penderitaan panjang menanti, saat segala sesuatu musnah dan mereka harus mengais-ais di antara tumpukan mayat agar bisa bertahan hidup, dan tentunya terjadi perebutan ‘wilayah’ antara manusia dan anjing – bisa dibayangkan bagaimana pertarungan yang terjadi di antara mereka ... benar-benar mengerikan. Bisa jadi hal ini pula penyebab mengapa karya-karya Mo Yan sempat dilarang beredar di Cina, dan lebih dikenal oleh pembaca di luar Cina.

Penulis juga mengungkap kebobrokan dalam sistem pemerintahan, dimana pejabat resmi yang ditunjuk untuk membentuk rakyat menjadi pasukan dan memimpin mereka ke medan perang, sama sekali tidak mampu mengundang simpati rakyat. Kebencian yang semakin menumpuk akibat tindakan sewenang-wenang serta perintah mengorbankan rakyat yang sama sekali tidak memiliki persenjataan dan kemampuan bertempur untuk berada di barisan terdepan. Sebagaimana digambarkan dalam kisah ini, selain bertempur melawan pasukan Jepang, pasukan Cina terbelah menjadi 3 kelompok yang justru lebih sering bertempur antara kaum mereka sendiri. Keluarga pun banyak terpecah belah akibat aneka propaganda yang muncul silih berganti.
“Ada 400 juta orang Cina. Jika kita melawan orang Jepang, satu lawan satu, menurutmu bagaimana peluang negara mereka yang kecil? Jika 100 juta warga kita bertempur hingga titik darah penghabisan, mereka akan binasa, tapi kita masih punya 300 juta orang lagi. Itu membuat kita menjadi pemenang. Cina mungkin tidak punya apa-apa kecuali penduduk dalam jumlah yang besar. Ini benar-benar kemenangan besar !”
Pihak Jepang pun cukup cerdik dan licik dengan membuat pasukan boneka – kelompok bangsa Cina yang memilih ‘melayani’ Jepang alih-alih melakukan perlawanan, dan mereka ini pun diposisikan pada baris depan untuk menghadang dan menghancurkan kelompok-kelompok pemberontak sebelum mereka menjadi semakin besar dan kuat. Terlepas dari jumlah rakyat Cina yang sangat besar dan keberanian untuk melawan, tetap saja sebuah strategi yang jitu mampu menghancurkan gerombolan massa yang tidak dikoordinasi dengan baik. Melalui ‘ilustrasi’ adegan pertarungan antara sekawanan manusia dan sekawanan anjing, penulis dengan cerdik menunjukkan bahwa dibutuhkan pemimpin yang tangguh dan banyak akal untuk menyatukan seluruh kekuatan yang tersedia saat berhadapan dengan lawan tanding, jika tidak, maka sebanyak apa pun jumlah yang ada, semuanya akan musnah begitu saja dalam sekejab.

Akhir kata, terlepas dari penggambaran yang brutal dan vulgar, harus kuakui Mo Yan memberikan kesan tersendiri yang tidak mudah dilupakan, berkat kepiawaiannya menyatukan keindahan alam yang liar dengan situasi pembantaian yang dilakukan oleh manusia. Sebagaimana sosok ‘sorgum merah’ – tanaman yang disebut sebagai ‘makanan rakyat’ ternyata memiliki banyak sekali keunggulan dan manfaat. Kekuatan tumbuhan ini terlihatdari proses adaptasi yang terjadi tatkala lingkungan sekitar menjadi rusak akibat perang. Bahkan usai perang, jenis hibrida yang mampu berkembang lebih pesat, tidak memiliki keunggulan sebagaimana jenis alami yang pernah memenuhi lahan masyarakat wilayah ini. Seperti memoar-nya ‘Change’, penulis menyiratkan bahwa kekurangan bukan berarti kekalahan, bahwa pihak yang lemah mampu mencapai keberhasilan berkat kecerdikan dan kekuatan keyakinan untuk terus maju, apa pun kondisinya.

Tentang Penulis :
Mo Yan lahir pada tanggal 17 Februari 1955 di Gaomi, provinsi Shandong, China, dalam sebuah keluarga petani dan kini menetap di Beijing bersama keluarganya. Ia adalah pemenang Hadiah Nobel Sastra 2012. Di negerinya, ia dijuluki ‘penulis China paling terkenal yang karya-karyanya paling sering dilarang beredar’.
Mo Yan telah menulis ratusan cerpen serta banyak novel, sebagian telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain Red Sorghum (1986) ; The Garlic Ballads (1988) ; The Republic of Wine (1992) ; Big Breast and Wide Hipes (1995) ; Life and Death Wearing Me Out (2006) ; Frog (2011) ; dan Pow! (2013).

[ more about the author and related works, just check at here : Mo Yan | on Goodreads | Awards & Honours | at IMDb ]

Best Regards,

@HobbyBuku

No comments :

Post a Comment

Silahkan tinggalkan pesan dan komentar (no spam please), harap sabar jika tidak langsung muncul karena kolom ini menggunakan moderasi admin.
Thanks for visiting, your comment really appreciated \(^0^)/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...